Hasan hanafi
Hanafi adalah murid fenomenologis Osman Amin, [5] dan menerbitkan trilogi [6] di mana ia menggunakan metode Husserl untuk merekonstruksi filsafat Islam klasik dan kritik sumber dan perkembangan kesadaran Eropa [5] Hanafi interpretasi Islam memiliki. juga telah digambarkan sebagai sosialis dan dia telah menguraikan konsep "Kiri Islam", menafsirkan Islam secara sosialis. Dia juga mempromosikan penafsiran Islam yang mendukung pengembangan etika global. [7]
Dalam karya yang lebih baru-baru Hanafi berpendapat bahwa Islam perlu dipahami dengan cara yang memfasilitasi kebebasan manusia dan kemajuan. [3] [8]
Hanafi telah bertindak sebagai penasehat Dewan InterAction, koalisi 26 mantan perdana menteri dan presiden. [9] Ia juga merupakan anggota dari Asosiasi Filsafat Antarbudaya, yang mendorong dialog antara filsuf dari seluruh dunia. Dia adalah salah satu penandatangan asli A Common Word Between Us and You, sebuah surat terbuka oleh para ulama Islam kepada para pemimpin Kristen, menyerukan perdamaian dan pemahaman. [10]
Kontroversi kemurtadannya
Buku Hassan Hanafi "Undangan untuk Dialog" telah dituduh oleh ulama Islam konservatif sebagai bid'ah dan kesesatan. [11]
Pendapat liberal tentang Islam telah membuat marah ulama Islam konservatif dan Azhar. Sebagai contoh, ia menyatakan bahwa nama Allah harus diubah menjadi "Transendensi." Ulama konservatif dari Azhar membantah bahwa Hanafi adalah mendistorsi Islam. [12]
Ada fatwa, pendapat syariah yang diterbitkan oleh ulama Islam yang mengutuk Hanafi sebagai murtad. Hal ini menimbulkan kontroversi di Mesir, karena banyak kaum liberal tidak setuju dengan tuduhan bahwa Hanafi adalah mutad.
A.PENDAHULUAN
Inspirasi kiri islam timbul karena melihat keberhasilan
ropolusi islam di Iran, dimana rakyatnya tegak kokoh melawan tekanan militer
dan menumbangkan rejim syah atas nama islam untuk menumpas otoriter. Maka
dapatlah dilihat bahwa kiri islam adalah benteng pelindung bagi islam, yang
akan mengembangkan reformasi agama.
Kiri islam berakar pada gerakan – gerakan islam kontemporer:
sanusiyah, omar mokhtar di libiya, mahdiisme di sudan, ikatan ulama aljazair,
yang menggabungkan repolusi nyata menentang imprialisme dan repolusi pemikiran
untuk mengentaskan keterbelakangan ummat. Pemikiran Hasan Hanafi ini sangat
perlu untuk dicermati dalam rangka membangun kembali turas klasik yang telah
pernah mengantarkan umat ke zaman keemasannya.
Makalah kecil ini mencoba menampilkan secuil dari buah
pikiran Hassan Hanafi yang berkenaan dengan judul diatas dan ruang lingkup
pembahasannya adalah : Giografi Hasan Hanafi, pengertian kiri islam dan
gagasannya. Kritik dan saran serta masukan dari peserta seminar dan terutama
dari bapak dosen pembimbing sangat diharapkan, agar makalah ini untuk
selanjutnya dapat lebih sempurna lagi. Atas perhatian dan partisipasinya
penulis ucapkan terimakasih.
PEMBAHASAN
1.BIOGRAFI HASAN HANAFI
DR HASAN HANAFI adalah seorang filosof hokum islam, pemikir
islam dan guru besar pada fakultas filsafat universitas kairo, ia memperoleh
gelar doctor pada tahun 1996 dari Sorbonne University, paris. Kedudukan Hasan
hanafi dalam masyarakat mesir merupakan contoh “intelektual” murni sebagaimana
yang disebutkan dalam ijazah kesarjanaan dimana ia tidak mendirikan organisasi
politik, dan bukan pemimpin langsung partai politik. Ia banyak menyerap
pengetahuan barat sekaligus mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran
barat, tentang ide – ide liberalisasi barat, demokrasi, resionalisme, dan
pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya. Maka ia tergolong modernis liberal.
Kita dapat menengerai tiga wajah dalam memmantapkan pemikirannya di dunia
islam, terutama dalam kaitannya dengan kiri islam mengupayakan menuju turas
(tradisi) islam klasik melalui perannya:
· Pertama, sebagai seorang pemikir revolisoner, yang salah
satu tugasnya adalah melaksanakan revollusi tauhid;
· Kedua, sebagai revormis tradisi intelektual islam;
· Ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afgani.
2. PENGERTIAN KIRI ISLAM
Kiri islam merupakan kelanjutan al-urwa al-wutsqa dan
al-manar dilihat dari keterkaitannya dengan agenda islam al afgani yaitu
melawan kolonialisme dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan
social serta mempersatukan kaum muslimin kedalam blok islam atau blok timur.
Dengan demikian kiri islam merupakan penyempurnaan agenda modern islam yang
mengungkapkan realitas dan tendensi sosial politik kaum muslimin.[1] Ia tidak
muncul dari ruang hampa dan sesuatu yang mengada-ada dalam gerakan islam
walaupun ia muncul ditengah-tengah kekosongan setelah agenda al-afgani
mengalami krisis dan terdistorsi di dalam Al-Manar.
Untuk kiri islam dapat saja diberi nama “Al-Manar baru”
tetapi nama itu hanya dikenal secara terbatas dikalangan pemerhati gerakan –
gerakan pembaharuan. Namun semangat revolusioner al-manar telah redup. Revolusi
islam telah direduksi menjadi impian masa lampau, dan repormasi mundur ke
belakang, seperti yang telah dirintis ibnu taimiyah. Kiri islam kembali kepada
semangat awal al-afgani, menghidupkan kembali bara apinya dan membangkitkan
kembali dari ketertidurannya.
Inspirasi kiri islam timbul karena melihat keberhasilan
revolusi islam di iran, dimana rakyatnya tegak kokoh melawan tekanan militer
dan menumbangkan rejim syah atas nama islam untuk menumpas otoriter. Maka
dapatlah dilihat bahwa kiri islam adalah benteng pelindung bagi islam yang akan
mengembangkan repormasi agama. Kiri islam berakar pada gerakan – gerakan islam kontemporer:
Sanusiyah, Omar mokhtar di Libya, Madiisme di Sudan ikatan ulama al jazair,
yang menggabungkan repolusi nyata menentanng imperialisme dan repolusi
pemikiran untuk mengentaskan keterbelakangan umat.
3. GAGASAN HASSAN HANAFI
Hanafi berpendapat, bahwa kiri islam berakar pada dimensi
revolusioner dari khazanah intelektual lama, karena itu rekonstruksi,
pengembangan dan pemurnian khazanah itu sangat penting dilakukan, dimana
khazanah tersebut terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan:
1. ilmu – ilmu normatif rasional (al-ulum al-naqliyah
al-aqliyah) contohnya ilmu ushul ad-din, ilmu ushul al-fiqih, dan ilmu tasawuf.
2. ilmu – ilmu rasional semata (al-aqliyah) contohnya
matematika, astronomi, fisika, kimia, kedokteran dan farmasi.
3. ilmu – ilmu normatif tradisional (al-naqliyah) contohnya
ilmu al-quran, ilmu hadist, sirah nabi, fiqih dan ilmu tafsir.[2]
Kiri islam menyepakati lima prinsip mu`tazilah (usul
khamsah). Dan berusaha merekonstruksi prinsip mu`tazilah itu setelah tenggelam
pada abad 5 H. semenjak al-ghazali menyerang ilmu – ilmu rasional dan dominasi
tasawuf yang berjalan dengan Asy`ariyah hingga masa gerakan reformasi islam.
Kita mengintroduksi mu`tazilah, karena kita mengembangkan rasionalisme,
kebebasan, demokrasi dan eksplorasi alam, dan juga mengelaborasi khawarij, kita
mendukung revolusi islam dan teguh dalam merebut hak – hak rakyat dan
mengembalikan martabat mereka.
Menurutnya, kita banyak menyeru kepada perbuatan adalah
syarat keimanan agar umat islam terus berkarya,sesuai dengan semboyan “sedikit
bicara banyak bekerja”. Kita menyerukan persamaan, bahwa tidak ada perbedaan
antara arab dengan bukan arab. Kita perhitungkan pula syi`ah yang selama ini
menjadi rival (saingan) ahlusunnah. Walaupun kita tidak tahu banyak tentang
ajarannya kecuali dari sumber – sumber ahlusunnah. Untuk pengembangan
rasionalisme islam, kita mencoba mengelaborasikan seluruh pemikiran alternative
sebagaimana kita pernah upayakan dahulu pada era keemasan, abad 4 H. sehingga
asy`arisme tidak lagi membelenggu kita selama 9 abad, bahkan hingga kini yang
seolah – olah asy`arisme menjadi sayu – satunya pemikiran keagamaan dalam
tradisi kita, maka dengan demikian kiri islam tetaplah independen dalam akidah,
tetapi ketika kita menoleh kebelakang, ada salah satu cacat kurun kita adalah
pengingkaran terhadap hukum alam dan kepercayaan yang berlebihan terhadap
kekuatan supranatural, hanya menunggu mu`jizat dan bergantung kepada keajaiban
– keajaiban.
Hanafi mengikuti paradigma kajian fiqih maliki karena ia
menggunakan pendekatan kemaslahatan (masalih mursalah serta membela kepentingan
kaum muslimin). Sebagai contoh Umar ibn khattab adalah imam mujtahid, pembela
kemaslahatan umat muslimin dan mengetahui kemaslahatan itu meskipun beliau
belum mendapat petunjuk wahyu sehingga kemudian baru datang dan membenarkan
pendapatnya.
Kiri islam bukan mazhab fiqih baru, namun ia memilih
diantara berbagai mazhab dan berpendapat bahwa malikiyah lebih dekat kepada
realitas dan memberikan keberanian kepada mujtahid saat ini untuk mengambil
keputusan berdasarkan kemaslahatan umum, bukan fiqh hanafi yang hanya dominan
kepada dimensi kewajiban, atau syafi`iyah yang hanya mencoba menggabungkan
antara maliki dan hanafi atau kelompok hijaz dan irak.[3]
Kiri islam bermazhab pada akar esensi malikiyah, bukan fiqh
hambali yang hanya memegang validitas teks semata dan kami telah cenderung
menghindari penerapan teks yang tidak proporsional. Ini bukan berarti kiri
islam melakukan diskriminasi atas mazhab – mazhab fiqh tersebut tapi untuk
mengembalikan umat muslimin kepada sumber pertamanya. Para pendahulu telah
berijtihad, maka kinipun harus berijtihad.
Menurut hanafi, bahwa keberanian kita ini berdasarkan
realita dan kemaslahatan umum, kita harus bercermin kepada malikiah. Penggunaan
akal secara optimal dalam interpretasi teks bercermin pada hanafiyah. Pemaduan
rasio dan realitas kita bercermin pada syafi`iyah dan komitmen terhadap teks
bercermin pada hambaliyah. Kita berpendapat bahwa teks adalah refleksi atas
realitas. Tugas kiri islam juga melakukan kajian kritis atas seluruh tradisi
legislasi (tasyri`). Kita menerima apa yang terdapat dalam al-quran dan sunnah
yang shahih, berarti menerima prinsip – prinsip kemaslahatan itu, kita
melakukan ijtihad.
A. IJMA`
Hanafi berpendapat, bahwa ijma` yang dibuat dalam suatu
kurun tertentu tidak selalu sesuaidengan kurun waktu berikutnya, karena
perubahan situasi. Ijma` dengan demikian hanya dapat diterapkan pada masanya.
Kita menetapkan hokum dengan kemaslahatan. Kemaslahatan adalahprinsip penetapan
hokum. Dari sinilah kita bangun komitmen kita pada imam malik ibn anas dan
prinsip kemaslahatan sebagai prinsip kritis atas teks al-quran dan sunnah,
ijma` dan ijtihad para fuqaha. Kita pertemukan ijtihad dengan prinsip keempat
sebagai prinsip dasar dengan prinsip – prinsip dasar lain yaitu Al-quran.
B. FILSAFAT
Menurut hanafi, filsafat mengikuti paradigma ibn rusyd[4]
yang menghindari illuminasi dan metefisika, dengan mendayagunakan rasio untuk
menganalisis hukum – hukum alam. Filsafat rasional klasik yang dirintis oleh
al-kindi dan bertumpu pada rasional ilmiah yang memandang filsafat sebagai
dasar agama, menguasai hukum alam dan menundukannya bagi kemaslahatan manusia.
C. TASAWUF
Menurut hanafi, kiri islam menolak tasawuf serta
memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum muslimin yang ditengarai antara
lain aleh ibn taimiyah. Tasawuf sesungguhnya tumbuh sebagai suatu gerakan yang
anti kemewahan, arogansi dan kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai –
partai oposisi dari imam ahli bait yang dimulai dari saat ali dan husein r.a
mengalami kekalahan. Maka ketika kemudian pemerintahan dinasti umayyah mulai
mapan dan ribuan kaum muslimin yang dipinpin para imam dan sahabat gugur, maka
banyak umat islam yang tulus meninggalkan keduniaan yang mereka pandang sebagai
penyebab perpecahan dalam barisan umat islam. Prinsip mereka adalah untuk
menyelamatkan diri dan menjaga kesucian bathin.
D. AL-AQLIYAH
Tentang al-aqliyah (ilmu – ilmu rasional) kiri islam
mendapatkan akarnya pada ilmu – ilmu rasional murni dalam khazanah klasik kita.
Ilmu – ilmu itu ditegakkan oleh rasio, transendensi telah mampu memberi
kekuatan kepada rasio untuk menuju kepada yang tak terbatas. Pendahulu kita
karena pengguna rasio dan sikap apresiatif terhadap alam dan hukum – hukumnya
telah menguasai teori – teori ilmiah dalam matematika, fisika, arsitektur,
kimia, kedokteran, biologi, farmasi dan sebagainya, yang hampir setara dengan
ilmu – ilmu modern. Kiri islam berpretensi untuk mengangkat ilmu – ilmu klasik
itu secara bertahap, sehingga kita tidak lagi tergantung dengan penemuan –
penemuan yang lain. Ilmu pada dasarnya adalah bagaimana mengaktifkan rasio dan
alam. Ilmu bukanlah barang jadi, yang hanya diterapkan dan dipindahkan dari
satu tempat ketempat lain.
Ilmu – ilmu sosial, kiri islam juga berakar pada ilmu – ilmu
kemanusiaan yang telah diletakkan dasar – dasarnya oleh pendahulu kita, seperti
ilmu bahasa, sastra, geografi, sejarah, psikologi dan sebagainya, sesuatu yang
selalu kita ulang – ulang tanpa mengetahui basis teoritiknya, misalnya
bagaimana kita berupaya merekonstruksi relitas sejarah hanya melalui metode
riwayat dalam ilmu hadist,atau mengkaji syariat sebelum kita dalam ilmu fiqh,
dan cerita – cerita kenabian, hari kiamat dan kepeminpinan dalam ilmu usul
addin, dan mengkaji tingkat – tingkat spiritual dalam ilmu tasawuf dan mengkaji
fase – fase sejarah. Kita mencoba menciptakan teori – teori sejarah baru yang
berkaitan dengan masyarakat islam, bertitik tolak dari ibn khaldun yang
menggambarkan dinamika bangsa – bangsa dalam empat fase : tumbuh, berkembang,
jaya dan hancur.[5]
E. AL-ULUM AL-NAQLIYAH AL-KHALISHAH
Al-ulumu al-naqliyah al-khalishah (ilmu – ilmu tradisional
murni), yaitu ilmu pertama sekali berkembang disekitar wahyu: ilmu – ilmu
al-quran, al-hadist, tafsir dan fiqh. Beberapa ilmu tersebut dapat dikembangkan
secara kontemporer, misalnya al-quran terdapat asbab al-nuzul yang dimaksudkan
untuk mengutamakan realitas, ilmu nasikh wa mansukh, ilmu makiyah madaniyah
untuk mengembangkan konsep system, aqidah syariah dan praktis.semua ilmu
tersebut memungkinkan untuk dikembangkan menjadi ilmu eksperimen seperti
sosiologi, historiografi, sistem politik dan ekonomi.
F. ILMU HADIST
Mengenai ilmu hadist hanafi berpendapat, bahwa kita lebih
mementingkan materi atau teks daripada sanad (silsilah perawi). Mungkin kita
tidak mampu melakukan kritik sanad (seperti yang dikembangkan pendahulu kita
dalam rijal al-hadist), tetapi kita mampu melakukan kritik matan dilihat dari
apakah sebuah teks masuk akal atau tidak, kewajaran dan sebagainya, kita mampu
melakukan kritik internal – internal setelah pendahulu kita mengembangkan
tradisi eksternal, terutama karena rasa kebangsaan sering kali dibentuk dari
teks hadist yang diterapkan tanpa melalui kritik internal. Banyak hadis yang
nilainya lemah (hadist – hadist masyhur, mursal, maqtu`,dha`if dan ahad)
digunakan dalam kehidupan sehari – hari, sementara hadist yang valid yang
sesungguhnya sudah teradapat dalam al-quran diabaikan. Maka karena itu,
prioritas kita adalah pada makna hadist, bukan pada perawinya, dan selanjutnya
memprioritaskan pada kata – kata nabi daripada pribadinya. Jangan sampai meniru
ahli kitab yang mementingkan sirah nabi mereka dan melupakan ajaran – ajaran
yang telah diberikan oleh nabi – nabi mereka tersebut.[6]
C. FAKTA DAN KENYATAAN KEHIDUPAN DI DUNIA ISLAM
Situasi dunia islam digambarkan oleh hanafi tidak secara
normative untuk memberikan nasehat dan petunjuk.kenyataan dan angka – angka
dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara pemikiran keagamaan kita
selama ini hanya bertumpu pada model “pengalihan” yang memindahkan bunyi teks
kepada realitas, seakan – akan teks keagamaan itu adalah realitas yang dapat
berbicara sendiri, kenyataan metode teks seperti itu banyak mengandung
kelemahan, diantaranya:
Pertama, teks bukanlah realita,ia hanyalah deskripsi
linguistic terhadap realita yang tidak dapat menggantikan. Kedua: berbeda
dengan rasio atau eksprimentasi, yang memungkinkan menusia mengambil peran
turut menentukan, teks justru menuntut keimanan aproiri terlebih dahulu.
Ketiga: tteks bertumpu pada otoritas al-kitab dan bukan pada otoritas rasio.
KESIMPULAN
1. dalam rangka kebangkitan islam hasan hanafi dengan kiri
islamnya bertopang kepada revolusi islam (revolusi tauhid) dan kesatuan umat
islam.
2. hasan hanafi merumuskan eksperimentasi al-turats
(tradisi) kepada tiga agenda: pertama: melakukan rekonstruksi tradisi[7] islam
dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda
“apresiasi terhadap khazanah klasik”. Kedua: menetapkan kembali batas – batas
cultural barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap
barat”. Ketiga: upaya membangun sebuah hermeneutika ( penafsiran) pembebasan
al-quran yang barumencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global,
agenda mana memposisikan islam sebagai fondasi idiologis bagi kemanusiaan
modern.
3. Hasan hanafi membagi turats kepada dua tingkatan:
pertama, yang berbentuk materi, seperti buku – buku, dokumen – dokumen,
manuskrips – manuskrips, dan benda sejenisnya. Kedua, segala bentuk konsep yang
dikontribusikan oleh setiap generasi tentang penafsiran atas realitas tertentu
sebagai respon menjadi tuntutan zaman. Turats dalam pengertian pertama statis,
sedangkan turats yang kedua bersifat dinamis. Dalam konteks ini yang
dimaksudkan hanafi adalah turats yang kedua, yang lahir dari masa ke masa
sampai saat ini masih tetap berfungsi dalam kehidupan masyarakat, seperti ilmu
al-quran, hadist, filsafat, tauhid, tasawuf, ushul fiqh, dan lain – lain.
DAFTAR
PUSTAKA
- B. Saenong Ilham. Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al-quran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta, Teraju, 2002
- Al-aridl, A. H. Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta, Rajawali Pers, 1992
- Chalil, M, Biografi, Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta, Bulan Bintang, 1995
- Donohue J, dan E, L, Islam dan Pembaharuan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1995
- Mahmud . M. Islam Kiri, Gema Insani, Jakarta, 1999
- Simogaki, K, Kiri Islam, Yogyakarta, LKIS dan Pustaka Pelajar, 1994
__________________
[1] John DJ. Dan John LE, Islam dan pembaharuan. (Jakarta)
Raja Grafindo Persada, 1995. hal 464-475.
[2] M.Chalil, Biografi, Empat serangkai imam mazhab. Jakarta
, bulan bintang, 1995, hal 77,123,244,321.
[3] Ibid. hal 138-139.
[4] Yoeseof . s. pemikiran islam, ( Jakarta ), gama
cipta.t.t. hal 281.
[5] Kazuo shimogaki, (Yogyakarta : pustaka pelajar)1994. hal
95-99.
[6] Ibid. hal 103-106.
[7] Ilham B Saenong, Hermeneutika Pembebasan, Metodologi
Tafsir Al-quran menurut hassan hanafi ( Jakarta) teraju, 2002, hal 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar