Siapa
yang tidak mengenal Gus Mik? Di Jawa Timur khususnya, namanya begitu
melegenda karena memiliki banyak kekhususan. Ia berdakwah dengan cara
yang nyentrik dan dikenal di kalangan NU sebagai seorang kyai yang
memiliki segudang ”kesaktian” alias Karomah.
Gus
Mik dianggap oleh banyak orang memiliki kemampuan supranatural. Banyak
kesaktian ditempelkan pada reputasinya. Banyak orang yang rela antre
berlama-lama untuk bisa bertemu dengan Gus Mik dengan berbagai pamrih:
ingin banyak rezeki, mau naik pangkat, menyembuhkan penyakit, sampai
hajat untuk memperoleh nama untuk bayi yang baru lahir.
Semuanya—dipercaya oleh para pengagumnya—bisa dibantu oleh Gus Mik.
Kemampuan supranatural itu, dalam istilah eskatologi pesantren,
dinamakan khariqul `adah. Kalangan awam memandang kemampuan semacam itu
sebagai suatu keanehan.
Namun, di mata Gus Dur, kenyentrikan Gus
Mik terletak pada kearifannya yang telah menembus batasan agama. Melalui
transendensi keimanannya, ia tidak lagi melihat kesalahan pada
keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Contohnya, Gus Mik
bersikap membimbing kepada Ayu Wedhayanti, seorang Hindu yang kini telah
berpindah hati ke Islam, seperti yang dilakukannya terhadap Machica
Mochtar, penyanyi asal Ujungpandang yang muslim.
Kenyentrikan lain kiai yang memiliki
citra rasa terhadap berbagai macam kopi itu telah menembus rambu-rambu
baik dan buruk di mata kebanyakan manusia. Gus Mik, karena itu, tidak
segan melepas jubah kekiaiannya dan bercengkerama dengan para penikmat
hiburan malam di diskotek, klub malam, bar, dan coffee shop. Ibarat
kata, di mata Gus Mik, seorang bajingan dan seorang suci adalah sama:
manusia. Dan manusia memiliki potensi untuk memperbaiki diri.
“Kerinduannya kepada realisasi potensi
kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Mik
supranatural,” kata Gus Dur dalam buku Gus Dur Menjawab Tantangan Zaman,
terbitan Kompas, Jakarta, 1999.
NU (Nahdlatul Ulama) adalah gudang kiai
berperilaku eksentrik. Istilah populer untuk eksentrisitas di kalangan
pesantren adalah khariqul `adah, sebuah kata dari bahasa Arab yang
berarti “di luar kebiasaan”. K.H. Abdurrahman Wahid, bekas Ketua
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, memakai istilah khariqul `adah untuk dua
pengertian: yang substantif dan yang permukaan (kulit). Gus Dur, begitu
panggilan akrab kiai yang kini menjadi mantan presiden itu, pernah
memakai istilah tadi untuk menggambarkan kenyentrikan almarhum Gus Mik
(Kiai Hamim Jazuli), seorang ulama masyhur dari Pesantren Alfalah Ploso,
Kediri.
Kiai-kiai yang nyentrik dengan dua
pengertian itu memang bertebaran di NU, sebuah organisasi keagamaan yang
berbasis kultural di pesantren tradisional. Tapi, tak pelak, cerita
yang harum beredar di masyarakat adalah kenyentrikan yang bersifat
permukaan. Bisa jadi karena hal permukaan itu yang memang mudah dilihat
dan karenanya menjadi cerita eksotis bagi orang kebanyakan.
Cerita-cerita supranatural itu banyak beredar dari mulut ke mulut,
sementara kearifan para kiai nyentrik kurang memperoleh catatan yang
memadai. Bisa jadi karena tradisi penulisan sejarah kurang memberikan
pendekatan dari segi substansi. Atau, bisa jadi karena para kiai
nyentrik itu cenderung hidup di luar pagar resmi organisasi.
Para kiai yang mengundang pesona
eksotisme itu hadir sejak awal sejarah NU hingga kini. K.H. Muhammad
Kholil (1835-1925), pendiri pesantren yang kini bernama Syaikhona I di
Desa Kademangan, Bangkalan, misalnya. Kiai yang dianggap moyang para
kiai supanatural itu memiliki kisah mistis-simbolis berkaitan dengan
sejarah pembentukan NU. Guru para kiai besar di Jawa itulah yang menjadi
penginspirasi pembentukan NU lewat isyarat penyerahan sebatang tongkat
pada 1924, dan sebuah tasbih setahun kemudian, yang dikirim lewat Kiai
As’ad Syamsul Arifin, pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo, kepada
K.H. Hasyim Asy’ari, murid Kiai Kholil yang kemudian terkenal sebagai
pendiri NU.
Kenyentrikan Kiai Kholil tampak sejak
muda. Ketika belajar di Pesantren Langitan. Tuban, Kholil pernah membuat
terpana Kiai Muhammad Noer, gurunya. Suatu hari Kholil ikut salat
berjamaah yang diimami Kiai Noer. Di tengah salat, Kholil tertawa
terbahak-bahak—sesuatu yang bisa membatalkan salat. Usai salat, Kiai
Noer menanyakan alasan Kholil tertawa. “Maaf, kiai. Ketika salat tadi,
saya melihat kiai sedang mengaduk-aduk nasi di bakul. Karena itu saya
tertawa,” kata Kholil seperti ditulis dalam buku Biografi dan Karomah
Kiai Kholil Bangkalan terbitan Pustaka Ciganjur, 1999. Santri muda itu
tampaknya bisa membaca pikiran orang. Seperti yang diakui Kiai Noer,
memang ketika salat, dia yang sedang lapar membayangkan terus nasi di
benaknya.
K.H. Abdul Wahab Abdullah (1888-1971),
murid Kiai Kholil yang kemudian menjadi pengasuh Pesantren Tambakberas,
Jombang, juga ketularan kelebihan gurunya. Salah seorang pendiri NU itu
mempunyai andil dalam pencarian nama NU. Caranya pun lewat jalan
spiritual. Konon, sebelum penentuan pilihan dari sejumlah nama, Kiai
Wahab melakukan istikharah, salat untuk menentukan pilihan. Dalam suatu
penglihatan mata batin, Kiai Wahab bertemu Sunan Ampel, seorang wali
Jawa Timur, yang memberi blangkon dan sapu bulu ayam bergagang panjang.
Tak jelas apa arti simbol itu. Tapi, menurut Hasib Wahab, anaknya, dalam
penglihatan itulah Kiai Wahab memperoleh keputusan untuk menamakan
organisasi kaum ulama tradisional itu dengan nama NU.
Kiai Wahab, yang sewaktu muda dijuluki
macan oleh Kiai Kholil, Bangkalan, itu dalam sejarahnya selain jago
berdebat politik juga dikenal sebagai pendekar silat. Ada cerita, suatu
waktu di Desa Tambakberas berlangsung pertandingan pencak silat. Semua
jago silat di Jawa Timur konon turun gelanggang. Salah satu jagoannya,
Djojo Rebo, dikenal kebal. Ketika hampir semua pendekar takluk, Djojo
Rebo melihat kehadiran Kiai Wahab hanya sebagai penonton. Padahal, Gus
Dul, begitu panggilan akrab Kiai Wahab, dikenal jago silat.
Djojo Rebo pun menantangnya. “Gus Dul,
ayo turun kemari. Keluarkan seluruh ajimat yang kamu bawa dari Mekkah.
Ayo kita bertarung,” kata Djojo Rebo. Kiai Wahab, yang baru saja pulang
dari Tanah Suci untuk belajar agama, itu tak bisa menolak tantangan.
Akhirnya Kiai Wahab turun juga. Tapi jurusnya unik: ia hanya berdiri
mematung dengan sorot mata memandang ke mata Djojo Rebo. Tiba-tiba tubuh
Djojo Rebo terempas dan melayang bagai kapas hingga jatuh ke tanah.
Kelebihan Gus Mik terasa lebih hidup
karena masih banyak kesaksian segar yang bisa dikumpulkan, termasuk dari
anak-anaknya. Gus Sabut Pranoto Projo menyimpan kisah tentang kemampuan
pecah diri (bi-lokasi) Gus Mik. Ketika Kiai Romly, pendiri Pesantren
Darul Ulum, Jombang, dan seorang mursyid tarekat meninggal dunia,
keluarga Kiai Akhmad Jazuli, ayah Gus Mik, datang melayat. Menjelang
berangkat, Gus Mik kecil menolak ajakan untuk melayat ke Jombang dan
memilih tinggal di rumah. Tapi, setelah keluarga itu tiba di rumah duka,
Gus Mik telah berada di tempat yang sama. Lebih mengherankan lagi,
keluarga Kiai Romly menyaksikan bahwa Gus Mik telah menemani almarhum
sejak seminggu sebelum Kiai Romly wafat.
Kisah-kisah supranatural bertebaran di
kalangan NU. Salah satu faktornya karena sebagian kiai nahdliyin
menjalankan tradisi sufisme. Di lingkungan NU, seperti kata doktor
sejarah dan kebudayan Andree Fellard dalam buku NU vis-Ã -vis Negara,
para kiai yang tergabung dalam tarekat memiliki pengaruh yang paling
kokoh terhadap masyarakat luas di pesantren ataupun di luar wilayah
desanya. Pengaruh yang mereka dapatkan datang dari kepercayaan
masyarakat terhadap bakat supranatural yang dimiliki kiai: sebagai
penyembuh, pengusir makhluk halus, dan sebagai penasihat rumah tangga.
Ketersohoran kiai tarekat telah turut mengimbangi memudarnya otoritas
ulama dan ahli fikih yang pernah berpindah ke tangan birokrasi.
Kiai dengan kelebihan supranatural masih
hadir hingga masa menjelang pergantian abad ke-21. Lora Kholil, 31
tahun, adalah kiai muda yang memiliki percikan khoriqul `adah di masa
kini. Pamor lulusan Universitas Ainus Syams, Saudi Arabia, itu amat
kondang di Situbondo. Bukan hanya karena pengaruh nama besar K.H. As’ad
Syamsul `Arifin, ayahanda dan pendiri Pesantren Asembagus, Situbondo,
tetapi dia sendiri memiliki aura kewibawaan. Berbadan ceking, selalu
bersarung dengan surban putih, pengasuh Pesantren Walisongo, Situbondo,
itu berhasil “menaklukkan” ribuan anak jalanan (preman) pada awal
1990-an.
K.H. Ahmad Mustofa Bisri dari Pesantren
Raudlatut Thalibin, Rembang, memilih untuk tidak memiliki kelebihan
supranatural dengan menekankan tasawuf pada aspek akhlak dan pengolahan
interioritas batin. Toh, kekuatan supranatural bisa dipelajari setiap
orang (lihat juga: Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains). Juga K.H. Habib
Luthfi, seorang ulama tasawuf yang lebih suka menebarkan pesona musikal.
Menyikapi kenyentrikan kiai, Gus Dur memberikan contoh terbaik:
mengagumi yang substansi daripada yang permukaan.
KH. Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada
17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama
sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri), Gus Miek
salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di
tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam
ternama, khususnya di Jawa Timur. Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan
pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit
dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut
hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau
derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap
Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi
sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena
Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH.
Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada
ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan
spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin
(sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para
wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa. Hal terpenting lain untuk
diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam
praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak
didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan
orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
SIAPA SESUNGGUHNYA GUS MIK?
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek,
Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang
tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca
Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog
dengan Tuhan, beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul
Ghofilin.
Gus Miek selain dikenal sebagai seorang
ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyeleneh, beliau lebih
menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti
diskotik, club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang
tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir
tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di Jawa Timur keluar masuk club
malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran
jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang
sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk
jalan terabas atau dalam bahasa indonesia-nya pemikiran jalan pintas.
Pernah diceritakan Suatu ketika Gus Miek
pergi ke diskotik dan di sana bertemu dengan Pengunjung yang sedang
asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil
sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu
dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek. ”Gus kenapa
sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras
yang diharamkan oleh Agama ?” lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak
meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!” hal ini
membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum
minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan, Gus miek angkat bicara
“sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya
kelaut..?” lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua
terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang
dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu
juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan
meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah
salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
Jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus
Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa,
beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering
menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak
beruntung di akhirat kelak.
Ketika beliau berdakwah di Semarang
tepatnya di NIAC di Pelabuhan Tanjung Mas. Niac adalah surga perjudian
bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan, Gus
Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap
permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang
sangat besar. NIAC pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi
neraka yang sangat menakutkan bagi para penjudi dan penikmat maksiat.
Satu contoh lagi ketika Gus Miek
berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus Miek
masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu
Gus Miek langsung menuju waitres (pelayan minuman) beliau menepuk
pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya,
perempuan itu pun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap
meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut
mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah
kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak
KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan
yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek
tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik
apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang
saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada” jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan
tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan
maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau
tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati.
Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku
menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa
aku sedang menagis“ jawab Gus Miek
Adanya sistem Dakwah yang dilakukan Gus
miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi
mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak
sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal
Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
GUS MIEK BERTEMU KH. MAS’UD
Ketika masih berusia 9 tahun, Gus Miek sowan ke rumah Gus Ud (KH.
Mas’ud) Pagerwojo, Sidoarjo. Gus Ud adalah seorang tokoh kharismatik
yang diyakini sebagai seorang wali. Dia sering dikunjungi olah sejumlah
ulama untuk meminta doanya. Di rumah Gus Ud inilah untuk pertama kalinya
Gus Miek bertemu KH. Ahmad Siddiq, yang di kemudian hari menjadi orang
kepercayaannya dan sekaligus besannya.
Saat itu, Kiai Ahmad Siddiq masih berusia
23 tahun, dan tengah menjadi sekretaris pribadi KH. Wahid Hasyim yang
saat itu menjabat sebagai menteri agama. Sebagaimana para ulama yang
berkunjung ke ndalem Gus Ud, kedatangan Kiai Ahmad Siddiq ke ndalem Gus
Ud juga untuk mengharapkan do’a dan dibacakan Al-Fatehah untuk
keselamatan dan kesuksesan hidupnya. Tetapi, Gus Ud menolak karena
merasa ada yang lebih pantas membaca Al-Fatehan. Gus Ud kemudian
menunjuk Gus Miek yang saat itu tengah berada di luar rumah. Gus Miek
dengan terpaksa membacakan Al-Fatehah setelah diminta oleh Gus Ud.
KH. Ahmad Siddiq, sebelum dekat dengan
Gus Miek, pernah menemui Gus Ud untuk bicara empat mata menanyakan
tentang siapakah Gus Miek itu. “Mbah, saya sowan karena ingin tahu Gus
Miek itu siapa, kok banyak orang besar seperti KH. Hamid
menghormatinya?” Tanya KH. Ahmad Siddiq. “Di sekitar tahun 1950-an, kamu
datang ke rumahku meminta do’a. Aku menyuruh seorang bocah untuk
mendoakan kamu. Itulah Gus Miek. Jadi, siapa saja, termasuk kamu, bisa
berkumpul dengan Gus Miek itu seperti mendapatkan Lailatul Qodar,” jawab
Gus Ud.
Begitu Gus Ud selesai mengucapan kata
Lailatul Qodar, Gus Miek tiba-tiba turun dari langit-langit kamar lalu
duduk di antara keduanya. Sama sekali tidak terlihat bekas atap yang
runtuh karena dilewati Gus Miek. Setelah mengucapkan salam, Gus Miek
kembali menghilang.
Suatu hari, Gus Miek tiba di Jember
bersama Syafi’i dan KH. Hamid Kajoran, mengendarai mobil Fiat 2300 milik
Sekda Jember. Sehabis Ashar, Gus Miek mengajak pergi ke Sidoarjo.
Rombongan bertambah Mulyadi dan Sunyoto. Tiba di Sidoarjo, Gus Miek
mengajak istirahat di salah satu masjid. Gus Miek hanya duduk di tengah
masjid, sementara KH. Hamid Kajoran dan Syafi’i tengah bersiap-siap
menjalankan shalat jamak ta’khir (Magrib dan Isya).
Ketika Syafi’i iqomat, Gus Miek menyela,
“Mbah, Mbah, shalatnya nanti saja di Ampel.” KH. Hamid dan Syafi’i pun
tidak berani melanjudkan. Tiba-tiba, dri sebuah gang terlihat seorang
anak laki-laki keluar, sedang berjalan perlahan. Gus Miek memanggilnya.
“Mas, beri tahu Mbah Ud, ada Gus Hamim dari kediri,” kata Gus Miek kepada anak itu.
Anak itu lalu pergi ke rumah Mbah Ud. Tidak beberapa lama, Mbah Ud datang dengan dipapah dua orang santri.
“Masya Allah, Gus Hamim, sini ini Kauman
ya, Gus. Kaumnya orang-orang beriman ya, Gus. Ini masjid Kauman, Gus.
Anda doakan saya selamat ya, Gus,” teriak Mbah Ud sambil terus berjalan
ke arah Gus Miek. Ketika sudah dekat, Gus Miek dan Mbah Ud terlihat
saling berebut untuk lebih dulu menyalami dan mencium tangan. Kemudian
Gus Miek mengajak semuanya ke ruamah Mbah Ud. Tiba di rumah, Mbah Ud dan
Gus Miek duduk bersila di atas kursi, kemudian dengan lantang keduanya
menyanyikan shalawat dengan tabuhan tangan. Seperti orang kesurupan,
keduanya terus bernyanyi dan memukul-mukul tangan dan kaki sebagai musik
iringan. Setelah puas, keduanya terdiam. “Silakan, Gus, berdoa,” kata
Mbah Ud kepada Gus Miek. Gus miek pun berdoa dan Mbah Ud mengamini
sambil menangis.
Di sepanjang perjalanan menuju ruamah
Syafi’i di Ampel, Sunyoto berbisik-bisik dengan Mulyadi. Keduanya
penasaran dengan kejadian yang baru saja mereka alam. Karena Mbah Ud
Pagerwojo terkenal sebagai wali dan khariqul ‘adah (di luar kebiasaan).
Hampir semua orang di Jawa Timur segan terhadapnya. “Mas, misalnya ada
seorang camat yang kedatangan tamu, lalu camat tersebut mengatakan
silakan-silakan dengan penuh hormat, itu kalau menurut kepangkatan,
bukankah tinggi pangkat tamunya?” Tanya Sunyoto kepada Mulyadi.
Mbah Ud adalah salah seorang tokoh di
Jawa Timur yang sangat disegani dan dihormati Gus Miek selain KH. Hamid
Pasuruan. Hampir pada setiap acara haulnya, Gus Miek selalu hadir
sebagai wujud penghormatan kepada orang yang sangat dicintainya itu.
KETERTUNDUKAN BINATANG
Ketika gus miek baru mulai bisa merangkak, saat itu ibunya membawa ke
kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan panen kelapa, bayi itu
ditinggalkan sendirian di sisi kebun, tiba-tiba dari semak belukar
muncul seekor harumau. Spontan sang ibu berlari menjauh dan luapa bahwa
bayinya tertinggal. Begitu sadar, sang ibu kemudian berlari mencari
anaknya. Tetapi, sesuatu yang luar biasa terjadi. Ibunya melihat harimau
itu duduk terpaku di depan sang bayi sambil menjilagti kuku-kukunya
seolah menjaga sang bayi.
Peristiwa ketertundukan binatang ini
kemudian berlanjut hingga Gus Miek dewasa. Di antara kejadian itu adalah
Misteri Ikan dan Burung Raksasa. Gus Miek yang sangat senang bermain di
tepi sungai Brantas dan menonton orang yang sedang memancing, pada saat
banjir besar Gus Mik tergelincir ke sungai dan hilang tertelan gulungan
pusaran air. sampai beberapa jam, santri yang ditugaskan menjaga Gus
Miek, mencari di sepanjang pinggiran sungai dengan harapan Gus Miek akan
tersangkut atau bisa berenang ke daratan. Tetapi, Gus Miek justru
muncul di tengah sungai, berdiri dengan air hanya sebatas mata kaki
karena Gus Miek berdiri di atas punggung seekor ikan yang sangat besar,
yang menurut Gus Miek adalah piaraan gurunya. Pernah suatu hari, ketika
ikut memancing, kail Gus Miek dimakan ikan yang sangat besar. Saking
kuatnya tenaga ikan itu, Gus Miek tercebur ke sungai dan tenggelam.
Pengasuhnya menjadi kalang kabut karena tak ada orang yang bisa
menolong, hari masih pagi sehingga masih sepi dari orang-orang yang
memancing. Hilir mudik pengasuhnya itu mencari Gus Miek di pinggir
sungai dengan harapan Gus Miek dapat timbul kembali dan tersangkut.
Tetapi, setelah hampir dua jam tubuh Gus Miek belum juga terlihat,
membuat pengasuh itu putus asa dan menyerah.
Karena ketakutan mendapat murka dari KH.
Djazuli dan Ibu Nyai Rodyiah, akhirnya pengasuh itu kembali ke pondok,
membereskan semua bajunya ke dalam tas dan pulang tanpa pamit. Dalam
cerita yang disampaikan Gus Miek kepada pengikutnya, ternyata Gus Miek
bertemu gurunya. Ikan tersebut adalah piaraan gurunya, yang memberitahu
bahwa Gus Miek dipanggil gurunya. Akhirnya, ikan itu membawa Gus Miek
menghadap gurunya yaitu Nabi Khidir. Pertemuan itu menurut Gus Miek
hanya berlangsung selama lima menit. Tetapi, kenyataannya Gus Miek naik
ke daratan dan kembali ke pondok sudah pukul empat sore. beberapa bulan
kemudian, setelah mengetahui bahwa Gus Miek tidak apa-apa, akhirnya
kembali ke pondok.
Pada suatu malam di ploso, Gus Miek
mengajak Afifudin untuk menemaninya memancing di sungai timur pondok Al
Falah. Kali ini, Gus Miek tidak membawa pancing, tatapi membawa cundik.
Setelah beberapa lama menunggu, hujan mulai turun dan semakin lama
semakin deras. Tetapi, Gus Miek tetap bertahan menunggu cundiknya
beroleh ikan meski air sungai brantas telah meluap. Menjelang tengah
malam, tiba-tiba Gus Miek berdiri memegangi gagang cundik dan berusaha
menariknya ke atas. Akan tetapi, Gus Miek terseret masuk ke dalam
sungai. Afifudin spontan terjun ke sungai untuk menolong Gus Miek. Oleh
Afifudin, sambil berenang, Gus Miek ditarik ke arah kumpulan pohon bambu
yang roboh karena longsor. Setelah Gus Miek berpegangan pada bambu itu,
Afifudin naik ke daratan untuk kemudian membantu Gus Miek naik ke
daratan. Sesampainya di darat, Gus Miek berkata “Fif, ini kamu yang
terakhir kali menemaniku memancing. Kamu telah tujuh kali menemaniku dan
kamu telah bertemu dengan guruku.“ Afifudin hanya diam saja. Keduanya
lalu kembali kepondok dan waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi.
GUS MIEK WAFAT
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir
di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh
dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih
abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
DAWUH DAWUH GUS MIK
Dhawuh 1
“Saya adalah mursyid tunggal Dzikrul Ghofilin” kata Gus Mik.
“Lho, Gus kok berkata begitu bagaimana dengan farid dan syauki..?” tanya
Gus Ali sidoarjo.”mereka hanya meramaikan saja” , jawab Gus Miek
Dhawuh 2
Demi Allah, saya hanya bisa menangis kepada Allah, semoga
sami’in yang setia, pengamal Dzikrul Ghofilin, semua maslah-masalahnya
tuntas diperhatikan oleh Allah.
Dhawuh 3
Bila mengikuti Dzikrul Ghofilin, kalau tidak tahu artinya yang penting hatinya yakin.
Dhawuh 4
Barusan ada orang bertanya: Gus, Dzikrul Ghofilin itu apa..? saya jawab: “Jamu”.
Dhawuh 5
Dzikrul Ghofilin itu senjata pamungkas, khususnya menghadapi tahun 2000 ke atas
Dhawuh 6
Ulama sesepuh yang dikirimi fatihah oleh orang-orang yang
tertera atau tercantum dalam Dzikrul Ghofilin itu yang akan saya dan
kalian ikuti di akhirat nanti.
Dhawuh 7
Dekatlan kepada Allah..! kalau tidak bisa, dekatlah dengan orang yang dekat denganNya.
Dhawuh 8
Kemanunggalan sema’an Al Qur’an dan Dzikrul Ghofilin adalah
sesuatu yang harus di wujudkan oleh pendherek, pimpinan Dzikrul
Ghofilin, dan jama’ah sema’an Al Qur’an. Sebab antara sema’an Al Qur’an
kaliyan Dzikrul Ghofilin ingkang sampun dipun simboli kaliyan fatihah
miata marroh ba’da kulli shalatin, meniko berkaitan manunggal.
Dhawuh 9
Semoga Dzikrul Ghofilin ini menjadi ketahanan batiniah kita,
sekaligus penyangga kita di hari Hisab (hari perhitungan amal). Itulah
yang paling penting..!
Dhawuh 10
Nuzulul Qur’an yang bersamaan dengan turunnya hujan ini, semoga
menjadi isyarat turunnya petunjuk kepada saya dan kalian semua, seperti
firman Allah: “Ulaika ‘ala hudan min rabbihim wa ulaika hum
al-muflihun” (Mereka telah berada di jalan petunjuk , dan mereka adalah
orang-orang yang beruntung).
Dhawuh 11
Barusan ada orang yang bertanya: Gus, bagaimana saya ini, saya
tidak bisa membaca Al Qur’an..? saya jawab: “Paham atau tidak, yang
penting sampean datang ke acara sema’an, karena mendengarkan saja besar
pahalanya”.
Dhawuh 12
Sejak sekarang, yang kecil harus berpikir: kelak kalau besar,
aku besar seperti apa, yang besar harus berpikir, kalau tua kelak, aku
tua seperti apa, yang tua juga harus berpikir, kelak kalau mati, aku
mati dalam keadaan seperti apa.
Dhawuh 13
Dalam sema’an ada seorang pembaca Al Qur’an, huffazhul Qur’an
dan sami’in. Seperti ditegaskan oleh sebuah hadits: Baik pembaca maupun
pendengar setia Al Qur’an pahalanya sama. Malah di dalam ulasan tokoh
lain dikatakan: pendengar itu pahalanya lebih besar daripada pembacanya.
Sebab pendengar lebih main hati, pikiran, dan telinganya. Pendengar
dituntut untuk lebih menata hati dan pikirannya dan lebih memfokuskan
pendekatan diri kepada Allah.
Dhawuh 14
Satu-satunya tempat yang baik untuk mengutarakan sesuatu kepada
Allah adalah majelis sema’an Al Qur’an. Hal ini tertera di dalam (kalau
tidak salah) tiga hadits. Antara lain Man arada an yatakallam ma’a
Allah falyaqra’ Al Qur’an (siapa ingin berkomunikasi dengan Allah,
hendaknya ia membaca Al Qur’an).
Dhawuh 15
Seorang yang ikut sema’an berturut-turut 20 kali saya jamin apa pun masalah yang sedang dihadapinya pasti akan beres/tuntas.
Dhawuh16
Ada seorang datang kepada saya: “Gus, problem saya
bertumpuk-tumpuk, saya sudah mengikuti sema’an 19 kali, tinggal 1 kali
lagi, kira-kira masalah saya nanti tuntas atau tidak..?” saya jawab:
“yang sial itu saya, kok bertemu dengan orang yang mempunyai masalah
seperti itu.”
Dhawuh 17
Saya sendiri sebagai pencetus sema’an Al Qur’an ternyata kurang
konsekuen, sementara sami’in datang dari jauh, bahkan hadir sejak
subuh, mulai surat Al fatihah dibaca sampai berakhir setelah doa khotmil
Qur’an malam berikutnya baru mereka pulang. Sedang saya ini, baru
datang kalau sema’an Al Qur’an akan diakhiri. Itu pun tidak pasti.
Terkadang saya berpikir, saya ini seorang yang dipaksakan untuk siap
dipanggil kiai.
Dhawuh 18
Berapa yang hadir setiap sema’an? Jangan lebih lima persen.
Nanti bila sami’innya terlalu banyak, saya hanya menangis dan membaca Al
Fatihah, lalu pulang. Saya sadar, saya tidak mampu berbuat apa-apa.
Jangankan untuk orang banyak, untuk satu orang saja saya tidak bisa.
Dhawuh 19
Kalau saya nongol, mungkin tak cukup semalaman. Satu persatu
harus dilayani. Saya besok ke mana? Apa yang harus saya lakukan? Kami
tidak punya modal? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan, Dan,
saya dituntut untuk memberikan keterangan yang bisa mereka terima,
setidaknya agak menghibur, dengan lelucon atau dengan pengarahan yang
pas.
Dhawuh 20
Semoga sema’an dan Dzikrul Ghofilin ini kelak menjadi tempat duduk-duduk dan hiburan anak cucu kita semua.
Dhawuh 21
Alhamdulillah, saya adalah yang pertama memberitahukan kepada
“anak-anak” tentang makna dan kegunaan sema’an Al Qur’an. Di tengah
maraknya Al Qur’an diseminarkan dan didiskusikan, Alhamdulillah masih
ada kelompok kecil yang menyakini bahwa Al Qur’an itu mengandung berkah.
Dhawuh 22
Saya mengambil langkah silang dengan mengatakan kepada
anak-anak yang berkumpu agar sebulan sekali mengadakan pertemuan,
ngobrol-ngobrol, guyon-guyon santai, syukur bisa menghibur diri dengan
hiburan yang berbau ibadah yang menyentuh rahmat dan nikmat Allah.
Kebetulan saya menemukan satu pakem bahwa pertemuan yang dibarengi
dengan alunan Al Qur’an, membaca dan mendengarkannya, syukur-syukur dari
awal sampai akhir, Allah akan memberikan rahmat dan nikmatNya. Jadi,
secara batiniah, sema’an Al Qur’an ini menurut saya adalah hiburan yang
bersifat hasnah (bernilai baik). Juga, pendekat diri kita kepada Allah
dan tabungan di hari akhir. Itu pula yang benar-benar diyakini para
pengikut sema’an Al Qur’an.
Dhawuh 23
Di bukit ini terdapat 3 tiang kokoh (panutan), yaitu (1) Syaikh
Abdul Qodir Khoiri, seorang wali yang penuh kasih, (2) Abdul Sholih
As-Saliki, seorang wali yang terus menjaga wudhunya demi menempuh jalan
berkah, (3) Muhammad Herman, ia adalah wali penutup, orang-orang terbaik
berbaur dengannya. Wahai tuhanku, berilah manfaat dan berkah mereka.
Kumpulkan aku bersama mereka.
Dhawuh 24
Mengenai tata krama ziarah kubur, selayaknya lahir batin ditata
dengan baik. Saya juga berpesan, kalau seseorang berceramah, hendaknya
ia tidak meneliti siapa yang dimakamkan, juga riwayat hidupnya.
Setidaknya hal demikian ini hukumnya makruh.
Dhawuh 25
Tiga orang yang tidur ini hidup sebelum Wali songo. Orang-orang
banyak datang kesini. Demikian juga orang-orang yang sakit, mereka
kalau datang ke sini sembuh.
Dhawuh 26
Kelak, bila aku sudah tiada, yang saya tempati ini (makam tambak) bertambah ramai (makmur)
Dhawuh 27
Saya disini hanya ittiba’(mengikuti) kiai sepuh, seperti kiai
Fattah dan kiai Mundzir. Di sini, dulu pernah dibuat pertemuan kiai-kiai
pondok besar.
Dhawuh 28
Makam ini yang menemukan keturunan Pangeran Diponegaoro. Dulu,
desa ini pernah dibuat istirahat oleh pangeran Diponegoro. Di desa ini
tidak ada shalat dan tidak ada apapun. Keturunan Diponegoro ini ada dua,
yang satu menjadi dukun sunat tetapi kalau berdandan nyentrik, sedang
adiknya jadi pemimpin seni jaranan.
Dhawuh 29
Berbaik sangka itu sulit. Jangankan berbaik sangka kepada Allah, kepada para wali dan para kiai sepuh saja sulit.
Dhawuh 30
Di tambak itu, kalau bisa bersabar, akan terasa seperti lautan,
dan kalau bisa memanfaatkan, akan banyak sekali manfaatnya. Tapi kalau
tidak bisa memanfaatkan, ia akan bisa menenggelamkan.
Dhawuh 31
Huruf hijaiyah itu ada banyak ada ba’, jim, dhot, sampai ya’.
Demikian juga dengan taraf ilmu seseorang. Ada orang yang ilmunya cuma
sampai ba’, ada orang yang ilmunya sampai jim, ada orang yang ilmunya
sampai dhot saja. Nah, orang yang ilmunya seperti itu tidak paham kalau
di omongi huruf tha’, apalagi huruf hamzah dan ya’.
Dhawuh 32
Saya bukan kiai, saya ini orang yang terpaksa siap dipanggil
kiai. Saya juga bukan ulama. Ulama dan kiai itu beda. Kiai dituntut
untuk punya santri dan pesantren. Ulama itu kata jamak yang artinya
beberapa ilmuwan. Ketepatan saja saya punya bapak yang bisa ngaji dan
punya pesantren. Itu pun tidak ada hubungannya dengan saya yang lebih
banyak berkelana. Dari berkelana itu lahirlah sema’an Al Qur’an. Jadi,
hiburan “anak-anak” dan saya datang bukan atas nama apa-apa. Hanya salah
satu pengikut sama’an Al Qur’an, yang bukan sami’in setia bukan
pengikut yang aktif.
Dhawuh 33
Nanti, kalau suamimu berani menjadi kiai harus sanggup hidup melarat.
Dhawuh 34
Akhirnya (maaf), kita menyadari bahwa kaum ulama, lebih-lebih
seperti saya, dituntut untuk menggali dana yang lebih baik, dana yang
benar-benar halal, kalau kita memang mendambakan ridho Allah.
Dhawuh 35
Di era globalisasi ini kita dituntut untuk lebih praktis, tidak
terlalu teoretis. Semua kiai dan ulama sekarang ini dituntut mengerti
bahwa dirinya punya satu tugas dari Allah, yakni membawa misi manusiawi.
Dhawuh 36
Kalau ingin pondok pesantrennya besar, itu harus kaya terlebih dahulu. Nah, kaya inilah yang sulit.
Dhawuh 37
Pondok pesantren ini, walaupun kecil, mbok ya biarkan hidup, yang luar biar di luar, yang dalam biar di dalam.
Dhawuh 38
Saya punya pertanyaan buat diri saya sendiri: mampukah saya
mengatarkan “anak-anak?” Sedang ulama saja banyak yang kurang mampu
mengantarkan anak-anak untuk saleh dan sukses. Suksenya diraih, salehnya
meleset. Di dalam pesantren sama sekali tidak diajarkan keterampilan.
Timbul pertanyaan: Bagaimana anak-anak kami nanti di masa mendatang,
bisnisnya, ekonominya, nafkahnya hariannya? Mungkinkah mereka berumah
tangga dengan kondisi seperti ini?.
Dhawuh 39
Mbah, manusia itu kalau punya keinginan, hambatannya Cuma dua.
Godaan dan hawa nafsu. Kuat cobaan apa tidak, kuat dicoba apa tidak.
Dhawuh 40
Para santri itu lemah pendidikan keterampilannya. Sudah
terlanjur sejak awalnya begitu. Tapi Alhamdulillah, di
pesantren-pesantren seperti Gontor dan pondok pabelan diajarkan
keterampilan-keterampilan. Di sana, keterampilannya ada, tapi wiridannya
tidak ada. Saya senang pesantren yang ada wiridannya.
Dhawuh 41
Sukses dalam studi belum menjamin sukses dalam hidup. Pokoknya,
di luar buku, di luar bangku, di luar kampus, masih ada kampus yang
lebih besar, yakni kampus Allah. Kita harus banyak belajar. Antara lain
belajar dangdut Jawa, belajar tolak berhala, dan belajar tolak berhala
itu sulit sekali! Sulit sekali.
Dhawuh 42
Hidup ini sejak lahir hingga mati, adalah kuliah tanpa bangku.
Dhawuh 43
Mbah, kamu itu ketika mengaji, jika dipanggil ayah, ibu atau
putra-putra ayah, siapa saja itu, jangan menunggu selesai mengaji,
langsung saja ditaruh kitabnya, lalu menghadap dengan niat mengaji.
Dhawuh 44
Seorang (santri) yang tak kuat menahan lapar, bahayanya orang (santri) itu di pondok bisa berani banyak utang.
Dhawuh 45
Mbah, kalau kamu menggantungkan kiriman dari rumah, kalau belum
dikirim jangan mengharap-harap dikirim, semua sudah diatur oleh Allah.
Dhawuh 46
Sekarang, mencari orang bodah itu sulit, sebab orang bodoh kini
mengaku pintar. Kelak, kalau kamu sekolah, berlaku bodah saja.
Bagaimana caranya? Pura-pura saja, dan harus bisa pura-pura bodoh.
Maksudnya, kamu harus pintar membedakan antara orang bodoh dengan orang
yang pura-pura bodoh.
Dhawuh 47
Dunia itu memang sedikit, tapi tanpa dunia, seseorang bisa mecicil (blingsatan).
Dhawuh 48
Jadi orang itu harus mencari yang halal, jangan sampai jadi tukang cukur merangkap jagal.
Dhawuh 49
Miskin dunia sedikitnya berapa, tak ada batasannya demikian
juga kaya dunia. Seorang yang kaya pasti ada yang di atasnya, seorang
yang melarat banyak temannya. Orang kaya pasti ada kurangnya. Ini adalah
ilmu Jawa, tidak perlu muluk-muluk mengkaji kitab kuning.
Dhawuh 50
Kamu memilih kaya-sengsara atau melarat-terlunta? Maksudnya,
kaya-sengsara itu adalah di dunia diganggu hartanya, sedang di akhirat
banyak pertanyaannya.
Dhawuh 51
Gus, tolong saya didoakan kaya. “kaya buat apa?”, tanya Gus
Miek. Buat membiayai anak saya. Royan, kamu tak usah khawatir, saya
berdoa kepada tuhan agar orang selalu baik dan membantu kamu. Adapun
orang yang berbuat buruk atau berniat buruk kepadamu akan saya potong
tangannya. Kelak, dirimu saya carikan tempat yang lebih baik dari dunia
ini.
Dhawuh 52
Royan, kamu ingin kaya ya? Kalau sudah kaya, nanti kamu repot lho.
Dhawuh 53
Orang kaya yang masuk surga itu syaratnya harus baik dengan tetangganya yang fakir.
Dhawuh 54
Seorang fakir yang tahan uji, yang tetap bisa tertawa dan
periang. Sedang hatinya terus mensyukuri keadaan-keadaannya, masih lebih
terhormat dan lebih unggul melebihi siapa pun, termasuk orang dermawan
yang 99% hak miliknya diberikan karena Allah, tetap saja masih unggul
fakir yang saleh tadi.
Dhawuh 55
Saat memimpin doa pada acara haul KH. Djazuli Ustman, Gus Miek
membaca Ayyuha Ad-Dunya Thallaqtuka Fa’anta Thaliqah.(Wahai dunia, aku
telah menalak kamu, sungguh aku telah mentalak kamu). Gus Miek lalu
berhenti dan berkomentar: Doa-doa seperti ini jangan sampai kalian ikut
mengamini, belum mengamini saja sudah senin kemis, apalagi mengamini,
bertambah dalam (terperosok) lagi.
Dhawuh 56
Maaf, kalau saya harus mengatakan: Anda sebaiknya punya
keterampilan. Jangan malu mengerjakan yang kecil, asal halal. Karena
banyak sekali rekanan saya yang malu, misalnya jualan kopi di ujung
sana, di sektor informal. Kok jualan kopi sih? Padahal saya mendambakan
menjadi karyawan bank, biar terdengar keren dengan gaji tinggi. Kok ini?
Kata mereka. Padahal ini halal menurut Allah dan sangat mulia. Sayang,
mereka salah menempatkan, menjaga gengsi di hadapan manusia. Nah, ini
tidak konsekuen, ini terlanjur salah kaprah. Kalau saya mengatakannya
secara salah, saya yang terjepit.
Dhawuh 57
Saya ini kan lain. Walau income resmi enggak ada, tanah tak
punya, tapi ada rekanan yang lucu-lucu. Hingga rasa tasyakurlah yang
lebih berkobar. Bukan rasa kurang atau yang lain.
Dhawuh 58
Ada satu kios kecil yang isi dengan kebutuhan kampung seperti
lombok, beras dan gula, di tempat yang sami’in tidak tahu. Kios itu saya
percayakan pada seseorang. Terserah dia! Dan, tidak harus untung.
Mungkin dia sendiri harus belajar untuk menerima kenyataan. Termasuk
untuk tidak untung.
Dhawuh 59
Jadilah seburuk-buruk manusia di mata manusia tetapi luhur di mata Allah.
Dhawuh 60
Tidak apa-apa dianggap seperti PKI tetapi kelak masuk surga.
Dhawuh 61
Hidup itu yang penting satu, keteladanan.
Dhawuh 62
Kunci sukses adalah bergaul, dan di dalam bergaul kita harus
ramah terhadap siapa saja. Sedang prinsipnya adalah bahwa pergaulan
harus menjadikan cita-cita dan idaman kita tercapai, jangan sebaliknya.
Dhawuh 63
Segala langkah, ucapan, dan perbuatan itu yang penting ikhlas, hatinya ditata yang benar, tidak pamrih apa-apa.
Dhawuh 64
Kalau ada orang yang menggunjing aku, aku enggak usah kamu
bela. Kalau masih kuat, silakan dengarkan, tapi kalau sudah tidak kuat,
menyingkirlah.
Dhawuh 65
Kalau ada orang yang menjelek-jelekkan, temani saja, jangan
menjelek-jelekkan orang yang menjelek-jelekkan. Kalau memang senang
mengikuti sunnah nabi, ya jangan dijauhi mereka itu karena nabi itu
rahmatan lil alamin.
Dhawuh 66
Kita anggota sami’in Dzikrul Ghofilin khususnya, ayo ramah
tamah secara lahir dan batin dengan orang lain, dengan sesame, kita
sama-sama manusia, walaupun berbeda wirid dan aliran. Kita harus
mendukung kanan dan kiri yang sudah terlanjur mantab dalam
Naqsabandiyah, Qodiriyah, atau ustadz-ustadz Tarekat Mu’tabarah. Jangan
sampai terpancing untuk tidak suka, tidak menghormati pada salah satu
wirid yang jelas muktabar dengan pedoman-pedoman yang sudah terang,
khusus dan tegas
Dhawuh 67
Tadi ada orang bertanya: Gus, saya ini di kampung bersama orang
banyak. Jawab saya: Yang penting ingat pada Allah, tidak merasa lebih
suci dari yang lain, tidak sempat melirik maksiat orang lain, dengan
siapa saja mempunyai hati yang baik, itulah ciri khas pengamal Dzikrul
Ghofilin.
Dhawuh 68
Era sekarang, orang yang selamat itu adalah orang yang apa adanya, lugu dan menyisihkan diri.
Dhawuh 69
“Miftah, kamu masih tetap suka bertarung pencak silat?” Tanya
Gus Miek. Lha bagaimana Gus, saya ikut, jawab Miftah. “Kalau kamu masih
suka (bertarung) pencak, jangan mengharap baunya surga.”
Dhawuh 70
Saya lebih tertarik pada salah seorang ulama terdahulu,
contohnya Ahmad bin Hambal. Kalau masuk tempat hiburan yang diharamkan
Islam, dia justru berdoa: “Ya Allah, seperti halnya Kau buat orang-orang
ini berpesta pora di tempat seperti ini, semoga berpesta poralah mereka
di akhirat nanti. Seperti halnya orang-orang di sini bahagia, semoga
berbahagia pula mereka di akhirat nanti.” Ini kan doa yang mahal sekali
dan sangat halus. Tampak bahwa Ahmad bin Hambal tidak suka model unjuk
rasa, demonstrasi anti ini anti itu. Apalagi seperti saya yang seorang
musafir, saya dituntut untuk lebih menguasai bahasa kata, bahasa gaul,
dan bahasa hati.
Dhawuh 71
Seorang yang diolok-olok atau dicela orang lain, apa itu
termasuk sabar? Badanya sakit, anaknya juga sakit, istrinya meninggal,
apa itu juga termasuk sabar? Hartanya hancur, istrinya mati, anaknya
juga mati, apa itu termasuk orang yang sudah sabar? Seperti itu tidak
bisa disebut sebagai orang sabar, entah sabar itu bagaimana, aku sendiri
tidak mengerti.
Dhawuh 72
Tadi, ada orang yang bertanya: periuk terguling, anak-istri
rewel, hati sumpek, pikiran ruwet, apa perlu pikulan ini (tanggung jawab
keluarga) saya lepaskan untuk mencari sungai yang dalam (buat bunuh
diri). Saya jawab: Jangan kecil hati, siapa ingin berbincng-bincang
dengan Allah, bacalah Al Qur’an.
Dhawuh 73
Tadi ada yang bertanya: Gus, bagaimana ya, ibadah saya sudah
bagus, shalat saya juga bagus, tetapi musibah kok datang dan pergi? Saya
jawab: mungkin masih banyak dosanya, mungkin juga bakal diangkat
derajat akhiratnya oleh Allah; janganlah berkecil hati.
Dhawuh 74
Orang-orang membacakan Al-Fatehah untukku, katanya aku ini
sakit. Aku ini tidak sakit, hanya fisikku saja yang tidak kuat karena
aktivitasku ini hanya dari mobil ke mobil, dan tidak pernah libur.
Dhawuh 75
Ada empat macam perempuan yan diidam-idamkan semua orang
(lelaki). Perempuan yang kaya, perempuan bangsawan, dan perempuan yang
cantik. Tapi ada satu kelebihan yan tidak dimiliki oleh ketiga perempuan
itu, yaitu perempuan yang berbudi.
Dhawuh 76
Anaknya orang biasa itu ada yang baik dan ada yang jelek.
Demikian juga anaknya kiai, ada yang baik dan ada yang jelek. Jangankan
anaknya orang biasa atau anaknya kiai, anaknya nabi pun ada yang berisi
dan ada yang kosong. Kalau sudah begini, yang paling baik bagi kita
adalah berdoa.
Dhawuh 77
Di tengah-tengah sulitnya kita mengarahkan istri, menata rumah
tangga, dan sulitnya menciptakan sesuatu yang indah, sedang tanda-tanda
musibah pun tampak di depan mata, semua itu menuntut kita menyusun
ketahanan batiniah, berusaha bagaimana agar Allah sayang dan perhatian
kepada kita semua.
Dhawuh 78
Tadi, ada orang yang bertanya: anak saya nakal, ditekan justru
menjadi-jadi, bagaimana Gus? Nasehat orang tua terhadap anaknya
janganlah menggunakan bahasa militer, pakailah bahasa kata, bahasa gaul,
dan bahasa hati.
Dhawuh 79
Gus, kenapa Anda menamakan anak Anda dengan bahasa Arab dan non
Arab? Begini, alas an saya menamakan dengan dua bahasa itu karena
mbahnya dua; mbahnya di sini santri, mbahnya di sana bukan. Mbahnya di
sini biar memanggil Tajud karena santri, mbahnya di sana yang bukan
santri biar memanggil Herucokro; mbanya di sini biar memanggil sabuth,
mbahnya di sana biar memanggil panotoprojo.
Dhawuh 80
Menurut Anda, bagaimana sebaik-baiknya busana muslim itu?
Jilbab kan banyak dipertentangkan akhir-akhir ini? Pada akhirnya,
seperti penggabungan Indonesia, Siangapura, Malaysia, Thailand, Brunei,
dan Filipina menjadi ASEAN, tidak menutup kemungkinan, ada bahasa dan
busana ASEAN. Sehingga siapa pun dengan terpaksa untuk ikut dan patuh.
Ya, kita sebagai orang tua harus diam kalau itu nanti terjadi, dan kalau
ingin selamat, ya mulai sekarang kita harus berbenah.
Dhawuh 81
Saya kira-kira dituntut untuk lebih menggalakkan ibadatul qalbi
(ibadah dalam hati). Mungkin begitu. Sebetulnya putrid rekan-rekan
ulama juga sudah banya yang terbawa arus; ya sebagian ada yang masih
mengikuti aturan, tetap berjilbab, misalnya. Tetapi ada juga yang tetap
berjilbab karena sungkan lantaran orang tuanya mubaligh. Secara umum,
sudah banyak yang terbawa arus.
Dhawuh 82
Dunia ini semakin lama semakin gelap, banyak hamba Allah yang
bingung, dan sebagian sudah gila. Sahabat Muazd bin Jabbal berkata:
“siapa yang ingat Allah di tengah-tengah dunia yang ramainya seperti
pasar ini, dia sama dengan menyinari alam ini.”
Dhawuh 83
Memiliki lidah atau mulut itu jangan dibirkan saja, lebih baik dibuat zikir pada Allah, dilanggengkan membaca lafal Allah.
Dhawuh 84
Hadirin tadi ada orang yang bertanya: Gus, pendengar Al Qur’an
ini kalau usai shalat fardhu, yang terbaik membaca apa ya? Saya jawab:
Untuk wiridan, kecuali kalian yang sudah mengikuti sebagian tarekat
mu’tabarah, baik membaca Al Fatehah 100 kali. Ini juga menjadi simbolnya
Dzikrul Ghofilin. Resepnya, mengikuti imam Abu Hamid Al Ghazali, yang
juga diijasahnya oleh adiknya, Syaikh Ahmad Al Ghazali.
Dhawuh 85
Trimah, kamu pasti mau bertanya: Kiai, wiridannya apa, mau
bertanya begitu kan? Tidak sulit-sulit, baca shalawat sekali, pahalanya
10 kali lipat; jangan repot-repot, baca shallallah ‘ala Muhammad, itu
saja, yang penting benar.
Dhawuh 86
Saya punya penyakit yang orang lain tidak tahu. Saya ini terus
terang tamak, takabur yang terselubung, dan diam-diam ingin kaya.
Padahal saya punya persoalan khusu dengan Allah. Artinya, saya adalah
hamba yang diceramahkan, sedang Allah yang sudah saya yakini adalah
sutradara.
Dhawuh 87
Persoalan mengenai hakikat hidup di dunia masih sering kita
anggap remeh. Olih karena itu, sangat perlu dilakukan sebentuk
muhasabah. Sejauh mana tauhid kita, misalnya. Dan, ternyata kita belum
apa-apa. Kita belum menjadi mukmin dan muslim yang kuat.
Dhawuh 88
Taqarrub (pendekatan) kita kepada Allah seharusnya menjadi obat
penawar bagi kita. Apa pun yang terjadi, apa pun yang diberikan Allah,
syukuri saja. Sayang, terkadang kita belum bisa menciptakan keadaan yang
demikian. Kita seharusnya bangga menjadi orang yang fakir. Sebab
sebagian penghuni surga itu adalah orang –orang fakir yang baik.
Dhawuh 89
Dahulu, pada usia sekitar 10 tahun, saya sering didekati
orang,dikira saya itu siapa. Ungkapan orang yang datang kepada saya
itu-itu saja: minta restu atau mengungkapkan kekurangan, terutama yang
berhubungan dengan materi. Perempuan yang mau melahirkan juga datang.
Dikira saya ini bidan. Karena makin banyak orang berdatangan, lalu saya
menyimpulkan: jangan-jangan saya ini senang dihormati orang,
jangan-jangan saya ini dianggap dukun tiban juru penolong atau orang
sakti.
Dhawuh 90
Surga itu miliknya orang-orang yang sembahyang tepat pada waktunya.
Dhawuh 91
Shalat itu, yang paling baik, di tengah-tengah Al-Fatehah harus jernih pikiran dan hati.
Dhawuh 92
Shalat itu, yang paling baik adalah berpikir di tengah-tengah membaca Al-Fatehah.
Dhawuh 93
Coro pethek bodon. Di akhirat, bila berbuat buruk satu, berbuat
baik satu itu rugi. Di akhirat, bila berbuat buruk satu, berbuat baik
dua itu rugi. Di akhirat, bila berbuat buruk satu, berbuat baik tiga itu
baru untung.
Dhawuh 94
Kalau kamu ingin meningkat satu strip, barang yang kamu sayangi
ketika diminta orang, berikan saja. Itu naik 1 strip, lebih-lebih
sebelum diminta, tentu akan naik 1 strip lagi.
Dhawuh 95
Seorang yang berani melakukan dosa, harus berani pula bertobat.
Dhawuh 96
Kalau kamu mengerjakan kebaikan, sebaiknya kau simpan
rapat-rapat; kalau melakukan keburukan, terserah kamu saja: mau kau
simpan atau kau siarkan.
Dhawuh 97
Kowe arep nandi Sir? Tanya Gus Miek. Badhe tumut ujian, jawab
Siroj. Kapan? tanya Gus miek . sak niki, jawab Siroj. Golek opo?, Tanya
Gus Miek lagi. “Ijasah,” jawab Siroj juga. Lho kowe ntukmu melu ujian ki
mung golek ijasah, e mbok sepuluh tak gaekne. Yoh, dolan melu aku.
Artinya:
Kalau kamu ikut ujian hanya untuk ijasah, sini, mau 10 saya buatkan, ayo ikut saya.
Dhawuh 98
“Kamu mau kemana sir?” Mau ngaji. “Biar dapat apa?” Biar masuk
surga. “jadi, alasan kamu mengaji itu hanya untuk mencari surga? Jadi,
surga bisa kamu peroleh dengan mengaji? Kalau begitu, sudah kitabmu
ditaruh saja, ayo ikut bersama saya ke Malang.
Dhawuh 99
Saya katakana kepada anak-anak, Dzikrul Ghofilin jangan sampai
diiklankan atau dipromosikan sebagai senjata pengatrol kesuksesan
duniawi.
Dhawuh 100
Saya imbau, jangan sampai ada yang berjaga lailatul Qodar, itu ibarat memikat burung perkutut.
Dhawuh 101
Belum tahun 2000 saja sudah begini; bagaimana kelak di atas
tahun 2000? Dunia ini semakin lama semakin panas, semakin lama semakin
panas, semakin lama semakin panas.
Dhawuh 102
Saya senang orang-orang Nganjuk karena orangnya kecil-kecil.
Ini sesuai sabda nabi: “Orang itu yang baik berat badannya 50.” Juga,
ada sabda lain yang menguatkan : “Orang paling aku cintai di antara
kalian adalah orang yang paling sedikit makannya.” Ini sesuai firman
Allah: Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan rasa
lapar dan mengamankan mereka dari rasa takut (QS. Quraiys: 4).
Lapar adalah syarat untuk menghasilkan tujuan. Maka, siapa tidak senang lapar, ia bukan bagian dari ahli khalwat (menyendiri).
Dhawuh 103
Miftah, kalau kamu nanti sudah pulang dari mondok, jangan suka menjadi orang terdepan.
Dhawuh 104
Biarkan dunia ini maju. Akan tetapi, bagi kita umat Islam, akan
lebih baik kalau kemajuan di bidang lahiriah dan umumiyah ini dibarengi
dengan iman, ubudiyah, serta sejumlah keterampilan positif. Jadi,
memasuki era globalisasi menuntut kita untuk lebih meyakini bahwa shalat
lima waktu itu, misalnya, adalah senam atau olah raga yang paling baik.
Setidak-tidaknya, bagi orang Jawa bangun pagi itu tentu baik. Apalagi
kita yang mukmin. Dengan bangun pagi dan menyakini bahwa kegiatan shalat
Subuh adalah senam olah raga yang paling baik, otomatis kita tersentuh
untuk bergegas selakukan itu.
Dhawuh 105
Sir, kalau kamu mau bertemu aku, bacalah Al-Fatehah 100 kali.
Dhawuh 106
Kalau mau mencari aku, di mana dan kapan saja, silakan baca surah Al-Fatehah.
Dhawuh 107
Mbah, kalau kamu mau bertemu aku, sedang kamu masih repot, kirimi saja aku Al-Fatehah, 41kali.
Dhawuh 108
Mencari aku itu sulit; kalau mau bertemu dengan aku, akrablah dengan keluargaku, itu sama saja dengan bertemu aku.